Minggu, 26 September 2010

Menulis Lagi (TERORIS DAN TERORISME)

dua kata yang berbeda. Teroris mempunyai arti orang dan atau sekumpulan orang yang melakukan tindakan terorisme. di sisi lain banyak orang yang mengaitkan atau mengartikan terorisme sebagai pergerakan fisik dengan menggunakan bom yang ditandai dengan jatuh nya ratusan bahkan ribuan korban, dan tendensi untuk mengaitkan terorisme dengan perlawanan/ serangan dan pelatihan bersenjata juga tumbuh subur di tenggah masyarakat.sebenarnya penggunaan bom maupun senjata dalam aksi terorisme hanya merupakan bagian dari cara teroris itu mengaktualisasikan idealisme mereka. bahan peledak berupa bom maupun senjata yang digunakan oleh teroris tersebut sebenarnya bukan lah barang berbahaya. karena benda2 seperti itu jauh lebih melimpah di gudang2 militer negara.

Metode penanggulangan yang digunakan sejauh ini lebih kepada memberantas teroris itu bukan terorisme. yang harus diberantas itu adalah terorisme yang penulis artikan sebagai idealisme yang diamini oleh teroris itu yg secara langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak sadar, cepat atau lambat, akan membisiki mereka untuk melakukan tindakan tindakan seperti peledakan bom maupun gerakan bersenjata yang memakan korban jiwa.Ini sebenarnya yang jauh lebih berbahaya dan menakutkan dibandingkan dengan bahan peledak maupun senjata yang dimiliki oleh teroris itu sendiri.

menanggulangan teroris dengan pendekatan melumpuhkan komplotan teroris justru akan menjadi semacam " bahan bakar" yang akan semakin menyulut semangat dan semakin memotivasi teroris untuk melakukan pergerakan pergerakan berikutnya.

penangananan permasalahan terorisme yang efektif sebenarnya terletak pada upaya dan usaha untuk memperbaki metode pendidikan keagamaan yang "salah asuh" yang diajarkan oleh orang2 yang katakan lah gagal dalam memahami agama dan gagal dalam memahami kehidupan ini.

Pemerintah harus lebih fokus untuk memperbaiki metode pendidikan keagamaan yang salah asuh tersebut bukan mengutamakan melumpuhkan komplotan teroris karena motif dari teroris itu dalam aksinya adalah idealisme. jadi idealisme yang merupakan produk dari pendidikan yang slah asuh ini yang harus diperbaiki.

PEMIMPIN, KEBERANIAN dan PERUBAHAN (Oleh: Kolonel Pnb Adjie Suradji)


oleh Teguh Arie Wibowo pada 13 September 2010 jam 9:49 (catatan facebook)

Untuk menciptakan perubahan (dalam arti positif), tidak diperlukan pemimpin sangat cerdas sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat keberanian. Keberanian jadi satu faktor penting dalam kepemimpinan berkarakter, termasuk keberanian mengambil keputusan dan menghadapi risiko. Kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan ciri-ciri kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak berani mengambil risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau pencitraan lain.

Indonesia sudah memiliki lima mantan presiden dan tiap presiden menghasilkan perubahannya sendiri-sendiri. Soekarno membawa perubahan besar bagi bangsa ini. Disusul Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati.

Soekarno barangkali telah dilupakan orang, tetapi tidak dengan sebutan Proklamator. Soeharto dengan Bapak Pembangunan dan perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat. Habibie dengan teknologinya. Gus Dur dengan pluralisme dan egaliterismenya. Megawati sebagai peletak dasar demokrasi, ratu demokrasi, karena dari lima mantan RI-1, ia yang mengakhiri masa jabatan tanpa kekisruhan. Yang lain, betapapun besar jasanya bagi bangsa dan negara, ada saja yang membuat mereka lengser secara tidak elegan.

Sayang, hingga presiden keenam (SBY), ada hal buruk yang tampaknya belum berubah, yaitu perilaku korup para elite negeri ini. Akankah korupsi jadi warisan abadi? Saatnya SBY menjawab. Slogan yang diusung dalam kampanye politik, isu ”Bersama Kita Bisa” (2004) dan ”Lanjutkan” (2009), seharusnya bisa diimplementasikan secara proporsional.

Artinya, apabila pemerintahan SBY berniat memberantas korupsi, seharusnya fiat justitia pereat mundus—hendaklah hukum ditegakkan—walaupun dunia harus binasa (Ferdinand I, 1503-1564). Bukan cukup memperkuat hukum (KPK, MK, Pengadilan Tipikor, KY, hingga Satgas Pemberantasan Mafia), korupsi pun hilang. Tepatnya, seolah-olah hilang. Realitasnya, hukum dengan segala perkuatannya di negara yang disebut Indonesia ini hanya mampu membuat berbagai ketentuan hukum, tetapi tak mampu menegakkan.

Quid leges sine moribus (Roma)—apa artinya hukum jika tak disertai moralitas? Apa artinya hukum dengan sedemikian banyak perkuatannya jika moral pejabatnya rendah, berakhlak buruk, dan bermental pencuri, pembohong, dan pemalas?

Keberanian

Meminjam teori Bill Newman tentang elemen penting kepemimpinan, yang membedakan seorang pemimpin sejati dengan seorang manajer biasa adalah keberanian (The 10 Law of Leadership). Keberanian harus didasarkan pada pandangan yang diyakini benar tanpa keraguan dan bersedia menerima risiko apa pun. Seorang pemimpin tanpa keberanian bukan pemimpin sejati. Keberanian dapat timbul dari komitmen visi dan bersandar penuh pada keyakinan atas kebenaran yang diperjuangkan.

Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara keraguan datang dari kepribadian yang goyah. Kalau keberanian lebih mempertimbangkan aspek kepentingan keselamatan di luar diri pemimpin—kepentingan rakyat—keraguan lebih mementingkan aspek keselamatan diri pemimpin itu sendiri.

Korelasinya dengan keberanian memberantas korupsi, SBY yang dipilih lebih dari 60 persen rakyat kenyataannya masih memimpin seperti sebagaimana para pemimpin yang dulu pernah memimpinnya.

Memang, secara alamiah, individu atau organisasi umumnya akan bersikap konservatif atau tak ingin berubah ketika sedang berada di posisi puncak dan situasi menyenangkan. Namun, dalam konteks korupsi yang kian menggurita, tersisa pertanyaan, apakah SBY hingga 2014 mampu membawa negeri ini betul-betul terbebas dari korupsi?

Pertanyaan lebih substansial: apakah SBY tetap pada komitmen perubahan? Atau justru ide perubahan yang dicanangkan (2004) hanya tinggal slogan kampanye karena ketidaksiapan menerima risiko-risiko perubahan? Terakhir, apakah SBY dapat dipandang sebagai pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan konsisten dalam pengertian teguh dengan karakter dirinya, berani mengambil keputusan berisiko, atau justru menjalankan kepemimpinan populis dengan segala pencitraannya?

Indonesia perlu pemimpin visioner. Pemimpin dengan impian besar, berani membayar harga, dan efektif, dengan birokrasi yang lentur. Tidak ada pemimpin tanpa visi dan tidak ada visi tanpa kesadaran akan perubahan. Perubahan adalah hal tak terelakkan. Sebab, setiap individu, organisasi, dan bangsa yang tumbuh akan selalu ditandai oleh perubahan- perubahan signifikan. Di dunia ini telah lahir beberapa pemimpin negara yang berkarakter dan membawa perubahan bagi negerinya, berani mengambil keputusan berisiko demi menyejahterakan rakyatnya. Mereka adalah Presiden Evo Morales (Bolivia), Ahmadinejad (Iran), dan Hugo Chavez (Venezuela).

Indonesia harus bisa lebih baik. Oleh karena itu, semoga di sisa waktu kepemimpinannya—dengan jargon reformasi gelombang kedua—SBY bisa memberikan iluminasi (pencerahan), artinya pencanangan pemberantasan korupsi bukan sekadar retorika politik untuk menjaga komitmen dalam membangun citranya. Kita berharap, kasus BLBI, Lapindo, Bank Century, dan perilaku penyelenggara negara yang suka mencuri, berbohong, dan malas tidak akan menjadi warisan abadi negeri ini. Sekali lagi, seluruh rakyat Indonesia tetap berharap agar Presiden SBY bisa membawa perubahan signifikan bagi negeri ini.

(KOLONEL Pnb Adjie Suradj)