Teguh Arie Wibowo
Rabu, 18 April 2012
Selasa, 24 Januari 2012
HILIR vs HULU
Beberapa media elektronik yang sering tayangkan diskusi para pakar dan tokoh tentang korupsi sepertinya cuma "mengadu domba" saja. Tak memecahkan masalah. Hanya mengejar gegap dinamika tetapi nihil pada solusi bagaimana seharusnya. Semua saling serang, marah, dan mengumbar caci-maki. Terseret pada arus permainan "modus potong babi". Asyik berdialog membahas persoalan hilir (Korupsi, HAM dll), sementara permasalahan hulu (sistem) yang menciptakan masalah hilir itu sendiri justru melangkah tenang tanpa gugatan. Terkesan, media sebagai sarana efektif "mendangkalkan" pola pikir kaum intelektual negeri ini agar diskusi, pergerakan dan perjuangan anak bangsa berputar-putar soal hilir, hilir dan hilir. Jangan-jangan media sebagai sarana pula bagi asing guna menyerbu dan melumpuhkan republik ini, sedang anak-anak bangsa tidak menyadari. Entahlah ..
Minggu, 25 Desember 2011
Pandangan saya tentang NATAL
Banyak saudara seiman saya yang tidak mengucapkan selamat natal karena mereka menafsirkan sendiri hal itu berarti mengakui akidah agama lain. Katanya, kalau hubungan sosial memang harus toleransi, tapi kalau soal akidah ya masing2. Ketika ada yang bertanya bagaimana menyikapi teman yang merayakan Natal, maka saya jawab, saya memang tidak mengucapkan "Selamat Natal" melainkan : "Selamat berbahagia di hari Natal" atau "Selamat menikmati kebahagiaan di hari Natal". Yang saya selamati dan hormati adalah orangnya as human being... so, selamat berbahagia teman2 pemeluk agama Kristiani yang merayakan hari besar keagamaannya ini... Semoga hikmah Natal anda membawa keberkatan dan kedamaian bagi kehidupan bangsa kita...
Kamis, 20 Oktober 2011
Pak Teguh
Saya adalah seorang sarjana ekonomi dari sebuah Universitas negeri di Indonesia. Walau pun bukan universitas besar namun cukup memiliki nama di Indonesia. Sekarang saya bekerja di salah satu perusahaan BUMN konstruksi, walau pun bukan BUMN yang besar dan terkenal di kalangan masyarakat umum, namun di kalangan perusahaan konstruksi, perusahaan tempat saya bekerja cukup dikenal.
Saya memiliki gaji yang cukup, bisa mencukupi kehidupan sehari-hari saya, bahkan saya masih bisa sisihkan gaji saya untuk menabung. Ditambah bonus-bonus yang diberikan perusahaan, maka dapat dikatakan saya hidup berkecukupan. Alhamdulillah, selama saya bekerja, saya belum pernah mengalami yang namanya krisis keuangan. Kalau pun saya berhemat, pasti karena saya memiliki tujuan untuk mendapatkan sesuatu yang lain.
Namun, saya masuk ke perusahaan ini karena kegagalan saya di masa lalu. Saya pernah memcoba masuk di sekolah kedinasan yang menurut saya betul-betul hebat.
Pada saat saya gagal masuk kesana, rasa sedih, malu, marah, dendam dan segala hal negatif bercampur aduk dalam otak saya.
Saya menjadi manusia yang negative. Shalat sering saya tinggalkan, saya ingin melawan Tuhan atas ketidakadilan yang saya terima. Saya nyaris menjadi manusia yang ‘semau gue’. Saya merasa tidak pantas untuk menerima kekalahan seperti itu, karena masih banyak sekali teman-teman saya yang seharusnya menerima nasib seperti saya namun mereka dapat melenggang terus sampai lulus. Saya selalu mengikuti aturan, jangankan untuk berbuat hak-hal “curang” dalam test, niat dalam hati sedikitpun tidak ada. Berusaha menjadi manusia baik tapi yang didapat malah kesialan, lebih baik menjadi penjahat, toh teman-teman saya yang tidak shalat saja bisa mendapatkan keinginannya.
Saya melanjutkan sekolah. Jurusan yang saya ambil berbeda dengan sekolah kedinasan tersebut.
Selama bersekolah di tempat baru, saya mulai menyadari kesalahan yang saya buat. Saya kembali shalat, mengaji dan berusaha kembali menjadi orang baik. Perasaan negative semakin menghilang, dan rasa optimis kembali menguasai diri saya.
Setelah lebih dari 4 tahun, saya lulus. Saya berkeliling, berlari ke sana ke sini, untuk memperoleh pekerjaan. Ada satu hal lagi yang perlu diketahui. Masuk sekolah kedinasan yang gagal saya tembus itu, sampai sekarang masih menjadi obsesi saya, walau pun kadang saya berfikir bahwa hal tersebut adalah hal bodoh dalam hidup saya namun saya tidak pernah kapok untuk mencobanya. Saya sudah mencoba memasuki sekolah kedinasan lain, tapi tetap saja gagal.
Pada akhirnya saya diterima di perusahaan tempat saya sekarang bekerja. Walaupun kebangggaan saya lebih sedikit kadarnya, saya tetap merasa bersyukur saya dapat memiliki pekerjaan tetap seperti sekarang ini. Tetapi masuk sekolah kedinasan tsb tetap menjadi obsesi saya.
Di balik rasa syukur yang saya miliki, kadang-kadang ada perasaan dalam diri saya untuk membalas dendam terhadap segala kegagalan yang saya terima. Hati saya, iman saya, ibadah saya kembali mengalami penurunan jika saya bertemu, mendengar cerita, atau hal lain yang berhubungan dengan sekolah kedinasan tersebut. Saya masih menyesali kegagalan saya.
Tapi SEKARANG semuanya berkebalikan. Saya tetap berusaha menjadi manusia baik, saya tetap berusaha jauhi “kecurangan-kecurangan” moral. Saya berusaha beribadah sebaik mungkin saya mampu.
Saya mohon bantuannya agar saya dapat mensyukuri segala yang sudah saya dapat sekarang dan mengubah pikiran ‘seandainya saya masih di sana’ menjadi suatu hal yang menggembirakan dalam hidup saya, menjadi motivasi, bukan menjadi cambuk. Saya ingin bebas dan ikhlas menerima semua itu, tapi saya ikhlas karena gembira, bukan ikhlas tapi sedih.
Saya memiliki gaji yang cukup, bisa mencukupi kehidupan sehari-hari saya, bahkan saya masih bisa sisihkan gaji saya untuk menabung. Ditambah bonus-bonus yang diberikan perusahaan, maka dapat dikatakan saya hidup berkecukupan. Alhamdulillah, selama saya bekerja, saya belum pernah mengalami yang namanya krisis keuangan. Kalau pun saya berhemat, pasti karena saya memiliki tujuan untuk mendapatkan sesuatu yang lain.
Namun, saya masuk ke perusahaan ini karena kegagalan saya di masa lalu. Saya pernah memcoba masuk di sekolah kedinasan yang menurut saya betul-betul hebat.
Pada saat saya gagal masuk kesana, rasa sedih, malu, marah, dendam dan segala hal negatif bercampur aduk dalam otak saya.
Saya menjadi manusia yang negative. Shalat sering saya tinggalkan, saya ingin melawan Tuhan atas ketidakadilan yang saya terima. Saya nyaris menjadi manusia yang ‘semau gue’. Saya merasa tidak pantas untuk menerima kekalahan seperti itu, karena masih banyak sekali teman-teman saya yang seharusnya menerima nasib seperti saya namun mereka dapat melenggang terus sampai lulus. Saya selalu mengikuti aturan, jangankan untuk berbuat hak-hal “curang” dalam test, niat dalam hati sedikitpun tidak ada. Berusaha menjadi manusia baik tapi yang didapat malah kesialan, lebih baik menjadi penjahat, toh teman-teman saya yang tidak shalat saja bisa mendapatkan keinginannya.
Saya melanjutkan sekolah. Jurusan yang saya ambil berbeda dengan sekolah kedinasan tersebut.
Selama bersekolah di tempat baru, saya mulai menyadari kesalahan yang saya buat. Saya kembali shalat, mengaji dan berusaha kembali menjadi orang baik. Perasaan negative semakin menghilang, dan rasa optimis kembali menguasai diri saya.
Setelah lebih dari 4 tahun, saya lulus. Saya berkeliling, berlari ke sana ke sini, untuk memperoleh pekerjaan. Ada satu hal lagi yang perlu diketahui. Masuk sekolah kedinasan yang gagal saya tembus itu, sampai sekarang masih menjadi obsesi saya, walau pun kadang saya berfikir bahwa hal tersebut adalah hal bodoh dalam hidup saya namun saya tidak pernah kapok untuk mencobanya. Saya sudah mencoba memasuki sekolah kedinasan lain, tapi tetap saja gagal.
Pada akhirnya saya diterima di perusahaan tempat saya sekarang bekerja. Walaupun kebangggaan saya lebih sedikit kadarnya, saya tetap merasa bersyukur saya dapat memiliki pekerjaan tetap seperti sekarang ini. Tetapi masuk sekolah kedinasan tsb tetap menjadi obsesi saya.
Di balik rasa syukur yang saya miliki, kadang-kadang ada perasaan dalam diri saya untuk membalas dendam terhadap segala kegagalan yang saya terima. Hati saya, iman saya, ibadah saya kembali mengalami penurunan jika saya bertemu, mendengar cerita, atau hal lain yang berhubungan dengan sekolah kedinasan tersebut. Saya masih menyesali kegagalan saya.
Tapi SEKARANG semuanya berkebalikan. Saya tetap berusaha menjadi manusia baik, saya tetap berusaha jauhi “kecurangan-kecurangan” moral. Saya berusaha beribadah sebaik mungkin saya mampu.
Saya mohon bantuannya agar saya dapat mensyukuri segala yang sudah saya dapat sekarang dan mengubah pikiran ‘seandainya saya masih di sana’ menjadi suatu hal yang menggembirakan dalam hidup saya, menjadi motivasi, bukan menjadi cambuk. Saya ingin bebas dan ikhlas menerima semua itu, tapi saya ikhlas karena gembira, bukan ikhlas tapi sedih.
Kamis, 18 Agustus 2011
KISAH TIGA JENDRAL (JEND.WIRANTO, JEND. S.B YUDHOYONO, LETJEND. PRABOWO.S)
Tulisan ini tidak akan membahas realitas politik saat ini, termasuk menganalisa hasil-hasil survey yang akan menunjukkan arah konstelasi politik pasca koalisi dan pedaftaran Capres-Cawapres. Saya lebih tertarik untuk membahas latar belakang karir militer tiga orang Jenderal ini. SBY pensiun dari militer dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Staf Teritorial TNI. Sedangkan Wiranto lebih gemilang lagi, bintang empat di pundaknya bersanding dengan jabatan sebagai Panglima TNI dan kemudian merangkap Menhankam. Prabowo Subianto bisa dikatakan sebagai perwira cemerlang dengan akhir yang malang. Dia hanya dua bulan menduduki kursi strategis Panglima Kostrad, kemudian dimutasi sebagai Dansesko ABRI hingga akhirnya pensiun dini. Dalam ukuran karier militer bisa dikatakan; Wiranto berhasil mencapai jenjang tertinggi karier militer. SBY berhasil membentuk imej sebagai perwira intelektual dan pemikir. Dan Prabowo akan selalu dikenang sebagai perwira lapangan yang tangguh.
Tiga orang Jenderal ini jelas berasal dari kawah Chandradimuka yang sama, Akademi Militer Magelang. Di Lembah Tidar itu setiap taruna datang dengan kualifikasi dan watak yang berbeda-beda. Kualifikasi fisik dan intelektual akan menentukan pada kecabangan mana para taruna itu kelak akan berkiprah. Maka kemudian sebagian taruna akan menjadi perwira infantri, kavaleri, zeni, artileri dan lain sebagainya. Sedangkan watak yang merupakan pembawaan yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan interaksi para taruna di lingkungannya kelak hanya akan membagi mereka dalam dua golongan; perwira lapangan dan perwira staf. Perwira lapangan biasanya akan memegang komando pasukan sedangkan perwira staf menjadi otak intelektualnya.
Dalam realitasnya di lapangan, tugas utama dari perwira staf adalah menciptakan opsi-opsi dalam pengambilan sebuah keputusan. Perwira staf tidak akan dibebani dengan tugas untuk mengambil keputusan sebab dia akan terjebak dalam keraguan untuk memilih opsi-opsi yang dia ciptakan sendiri. Tugas perwira lapanganlah untuk memilih opsi-opsi solusi yang ditawarkan itu. Tanggung jawab, risiko dan akibat-akibat dari pengambilan keputusan sepenuhnya berada di pundak perwira lapangan. Perwira staf terbiasa berpikir dalam ragu, sebab keraguan itu diperlukan untuk menajamkan pilihan yang ada. Sedangkan perwira lapangan harus percaya diri dalam memilih satu di antara sekian banyak pilihan solusi yang ditawarkan. Perwira staf menawarkan skeptisme, perwira lapangan lah yang menghidupkannya menjadi optimisme.
Tiga orang Jenderal kita ini jelas memiliki watak yang berbeda dengan kualitas yang mumpuni dalam bidang mereka masing-masing. SBY memiliki kualitas luar biasa sebagai perwira staf, seorang Jenderal Intelektual. Kualitasnya sudah teruji pada saat menjabat Assospol Kassospol ABRI, Ketua F-ABRI MPR RI dan kemudian Kaster TNI. Pikiran-pikiran SBY pada masa itu bersambut dengan gaung reformasi. Memang yang dibutuhkan pada masa peralihan itu adalah wacana segar untuk keluar dari kemelut krisis sosial, politik dan ekonomi. Wiranto dan Prabowo adalah perwira lapangan. Kualitas Prabowo bisa disaksikan oleh publik pada saat dia menjabat Komandan Jenderal Kopassus dan kemudian dalam usia relatif muda sudah menggenggam tongkat komando Kostrad. Sedangkan Wiranto, setelah menunaikan tugas sebagai Ajudan Presiden Soeharto, kariernya melesat dengan cepat sehingga pada tahun 1998 ditunjuk sebagai Panglima TNI.
Pertanyaan yang muncul kemudian, kenapa di antara tiga orang Jenderal cemerlang ini, hanya Wiranto yang bisa menggapai puncak komando, Panglima TNI? Tanpa terjebak pada senioritas angkatan di Akmil, seharusnya SBY dan Prabowo berpotensi sama untuk memegang tongkat komando tertinggi itu. SBY memiliki peluang yang sangat besar pasca reformasi, karena sifat moderatnya sesuai dengan semangat zaman pada masa itu. Sedangkan Prabowo memang telah jauh-jauh hari diproyeksikan akan memegang tongkat komando itu, mengingat kemampuannya memegang pasukan di lapangan. Sayangnya tidak satu pun dari keduanya yang berhasil menggapai itu. Sebelum bintangnya genap menjadi empat SBY keburu didapuk menjadi Menteri Pertambangan Energi dalam pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid. Sedangkan Prabowo lebih tragis, bersinar sebagai Pangkostrad tetapi kemudian namanya tersangkut dalam kasus penculikan aktifis. Karirnya berakhir sebagai Komandan Sesko ABRI.
Menurut hemat saya, kegagalan SBY menjadi Panglima TNI lebih dikarenakan wataknya sebagai perwira pemikir. Pada masa transisi setelah jatuhnya rezim Soeharto, TNI butuh kepemimpinan yang kuat dan cepat dalam mengambil keputusan. Pada masa itu memang para perwira intelektual mendapatkan pamor yang luas di kalangan masyarakat yang tengah gandrung dengan perubahan. Tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk memutuskan. Lantas bagaimana dengan Prabowo? Jenderal lapangan yang satu ini memang berpotensi besar menggenggam tongkat komando panglima. Tetapi masalahnya, Prabowo tidak pernah bisa benar-benar kembali dari medan perang. Sementara tuntutan zaman telah berubah, komando-komando lapangan di medan perang di tingkatan lebih tinggi harus teraplikasikan menjadi komando-komando untuk menciptakan rasa aman di tengah masyarakat. Menurut saya, inilah kelebihan Wiranto. Benar, dia seorang perwira lapangan tetapi Jenderal ini tahu kapan saatnya pulang dari medang perang. Sehingga pada saat mundurnya Presiden Soeharto, Wiranto tahu apa yang seharusnya dilakukan. Sebagai Panglima ABRI, tugas utamanya adalah menciptakan rasa aman di tengah masyarakat dengan jalan mengawal peralihan kekuasaan secara konstitusional.
Senin, 15 Agustus 2011
Encouragement
Cerita di bawah ini setidaknya dapat memberi inspirasi kepada kita dalam menjalankan roda bisnis perusahaan, khususnya dalam kontek “memberdayakan pegawai”. Sudah saatnya mempertimbangkan perubahan cara untuk mendorong produktifitas yang jauh lebih baik. Warisan kompeni yang sampai sekarang masih tetap dipertahankan oleh sebagian besar anak bangsa negeri ini adalah “Budaya Menghukum” yang diterapkan hampir diseluruh bidang usaha/pendidikan. Cerpen yang ingin disampaikan adalah sbb:
LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah. Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?” “Dari Indonesia ,” jawab saya. Dia pun tersenyum. Budaya Menghukum
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya.Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat. “Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!” Dia pun melanjutkan argumentasinya. “Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbedabeda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita. Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian. Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.
Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal. Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti. Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah member penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”.
Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda. Melahirkan Kehebatan. Bisakah kita mencetak orang orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah. Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya,dapat tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh. Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti. (*)
*) Dikutip pada suatu kesempatan dari Ceramah motifasi Ketua Program MM UI, Rhenald Kasali
Kamis, 28 April 2011
ADA YANG MENGETUK HATI SAYA.
Roda nasib memang licin berputar di sumbu peruntungan anak manusia. Tak ada dalil baku apalagi ketentuan absolut tentang bagaimana dan akan kemana nasib kita besok. Nasib dan harapan kadang tidak bisa dipersandingkan.
Brriptu Norman adalah sosok Brimob yang bernasib luar biasa. Seorang yang tadinya bintara penjaga pos piket markas komando, sekarang mendadak menjadi idola baru di seantero negeri. Sekali lagi selamalah Norman yang telah megharumkan nama daerahnya.
Cuma, ADA YANG MENGETUK HATI SAYA. ADA RIWAYAT RIWAYAT BRIMOB-BRIMOB SEDERHANA, YANG MENYABUNG NYAWA,MENJINAKAN BOM. DIA JUGA PANTAS DIPUJA. SUNGGUH DIA TELAH MENYELAMATKAN SEKIAN RATUS MANUSIA TAK BERDOSA.
WAJAHNYA TERBUNGKUS MASKER,TAK ADA YANG MENGENALNYA, SELESAI MENJINAKAN BOM, DIA DIAM DIAM MENYELINAP KEMBALI KE DALAM "BARISAN" DAN SEKETIKA BERKATA (SIAAPP!!) DENGAN LANTANG KETIKA ADA PERINTAH MENDATANGI. TAK ADA YANG MENGELU-ELUKANNYA.. KENAPA TAK PERNAH ADA? SALAM HORMAT DAN TERIMA KASIH UNTUK BRIMOB BRIMOB SEDERHANA ITU.
Brriptu Norman adalah sosok Brimob yang bernasib luar biasa. Seorang yang tadinya bintara penjaga pos piket markas komando, sekarang mendadak menjadi idola baru di seantero negeri. Sekali lagi selamalah Norman yang telah megharumkan nama daerahnya.
Cuma, ADA YANG MENGETUK HATI SAYA. ADA RIWAYAT RIWAYAT BRIMOB-BRIMOB SEDERHANA, YANG MENYABUNG NYAWA,MENJINAKAN BOM. DIA JUGA PANTAS DIPUJA. SUNGGUH DIA TELAH MENYELAMATKAN SEKIAN RATUS MANUSIA TAK BERDOSA.
WAJAHNYA TERBUNGKUS MASKER,TAK ADA YANG MENGENALNYA, SELESAI MENJINAKAN BOM, DIA DIAM DIAM MENYELINAP KEMBALI KE DALAM "BARISAN" DAN SEKETIKA BERKATA (SIAAPP!!) DENGAN LANTANG KETIKA ADA PERINTAH MENDATANGI. TAK ADA YANG MENGELU-ELUKANNYA.. KENAPA TAK PERNAH ADA? SALAM HORMAT DAN TERIMA KASIH UNTUK BRIMOB BRIMOB SEDERHANA ITU.
Langganan:
Postingan (Atom)