Kamis, 20 Oktober 2011

Pak Teguh

Saya adalah seorang sarjana ekonomi dari sebuah Universitas negeri di Indonesia. Walau pun bukan universitas besar namun cukup memiliki nama di Indonesia. Sekarang saya bekerja di salah satu perusahaan BUMN konstruksi, walau pun bukan BUMN yang besar dan terkenal di kalangan masyarakat umum, namun di kalangan perusahaan konstruksi, perusahaan tempat saya bekerja cukup dikenal.
Saya memiliki gaji yang cukup, bisa mencukupi kehidupan sehari-hari saya, bahkan saya masih bisa sisihkan gaji saya untuk menabung. Ditambah bonus-bonus yang diberikan perusahaan, maka dapat dikatakan saya hidup berkecukupan. Alhamdulillah, selama saya bekerja, saya belum pernah mengalami yang namanya krisis keuangan. Kalau pun saya berhemat, pasti karena saya memiliki tujuan untuk mendapatkan sesuatu yang lain.
Namun, saya masuk ke perusahaan ini karena kegagalan saya di masa lalu. Saya pernah memcoba masuk di sekolah kedinasan yang menurut saya betul-betul hebat.
Pada saat saya gagal masuk kesana, rasa sedih, malu, marah, dendam dan segala hal negatif bercampur aduk dalam otak saya.
Saya menjadi manusia yang negative. Shalat sering saya tinggalkan, saya ingin melawan Tuhan atas ketidakadilan yang saya terima. Saya nyaris menjadi manusia yang ‘semau gue’. Saya merasa tidak pantas untuk menerima kekalahan seperti itu, karena masih banyak sekali teman-teman saya yang seharusnya menerima nasib seperti saya namun mereka dapat melenggang terus sampai lulus. Saya selalu mengikuti aturan, jangankan untuk berbuat hak-hal “curang” dalam test, niat dalam hati sedikitpun tidak ada. Berusaha menjadi manusia baik tapi yang didapat malah kesialan, lebih baik menjadi penjahat, toh teman-teman saya yang tidak shalat saja bisa mendapatkan keinginannya.
Saya melanjutkan sekolah. Jurusan yang saya ambil berbeda dengan sekolah kedinasan tersebut.
Selama bersekolah di tempat baru, saya mulai menyadari kesalahan yang saya buat. Saya kembali shalat, mengaji dan berusaha kembali menjadi orang baik. Perasaan negative semakin menghilang, dan rasa optimis kembali menguasai diri saya.
Setelah lebih dari 4 tahun, saya lulus. Saya berkeliling, berlari ke sana ke sini, untuk memperoleh pekerjaan. Ada satu hal lagi yang perlu diketahui. Masuk sekolah kedinasan yang gagal saya tembus itu, sampai sekarang masih menjadi obsesi saya, walau pun kadang saya berfikir bahwa hal tersebut adalah hal bodoh dalam hidup saya namun saya tidak pernah kapok untuk mencobanya. Saya sudah mencoba memasuki sekolah kedinasan lain, tapi tetap saja gagal.
Pada akhirnya saya diterima di perusahaan tempat saya sekarang bekerja. Walaupun kebangggaan saya lebih sedikit kadarnya, saya tetap merasa bersyukur saya dapat memiliki pekerjaan tetap seperti sekarang ini. Tetapi masuk sekolah kedinasan tsb tetap menjadi obsesi saya.

Di balik rasa syukur yang saya miliki, kadang-kadang ada perasaan dalam diri saya untuk membalas dendam terhadap segala kegagalan yang saya terima. Hati saya, iman saya, ibadah saya kembali mengalami penurunan jika saya bertemu, mendengar cerita, atau hal lain yang berhubungan dengan sekolah kedinasan tersebut. Saya masih menyesali kegagalan saya.

Tapi SEKARANG semuanya berkebalikan. Saya tetap berusaha menjadi manusia baik, saya tetap berusaha jauhi “kecurangan-kecurangan” moral. Saya berusaha beribadah sebaik mungkin saya mampu.

Saya mohon bantuannya agar saya dapat mensyukuri segala yang sudah saya dapat sekarang dan mengubah pikiran ‘seandainya saya masih di sana’ menjadi suatu hal yang menggembirakan dalam hidup saya, menjadi motivasi, bukan menjadi cambuk. Saya ingin bebas dan ikhlas menerima semua itu, tapi saya ikhlas karena gembira, bukan ikhlas tapi sedih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar